Ritual
Kejawen Malam Satu Suro Kasunanan Surakarta
Banyak orang bertanya tentang proses dan ritual kejawen
malam satu suro yang diadakan di Kasunanan Surakarta. Pasalnya tiap malam
pergantian tahun hijriyah tersebut keraton surakarta mengadakan prosesi kirab
mengelilingi benteng serta membawa barang-barang pusaka milik kerajaan. Anehnya
lagi di depan barisan pasukan kirab terdapat rombongan kebo bule sebagai
pemimpin barisan. Sepertia apa dan sejak kapan adat ini dilakukan oleh keraton
Surakarta? Simak penjelasannya selengkapnya.
Malam Satu Suro
Malem satu suro merupakan malam yang diwingitkan oleh
masyarakat jawa sejak dulu karena mitos yang terdapat didalamnya. Namun
demikian dibalik mitos yang beredar di masyarakat sebenarnya banyak mengandung
makna historis bagi orang-orang yang mengetahuinya.
Malam tersebut sebenarnya merupakan malam pergantian tahun hijriyah dalam kalender islam. Di lain sisi masyarakat jawa sendiri mulai mengenal penanggalan jawa pada masa kerajaan Mataram kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusuma. Pada saat itu, sebagai kerajaan islam tentu Mataram memiliki tugas cukup berat guna mempersatukan masyarakat Jawa.
Keberadaan penanggalan Islam memang telah dianggap sempurna oleh Sultan Agung, namun demikian kepercayaan di masyarakat jawa tidak seluruhnya menganut agama Islam. Dari sinilah kemudian tercipta penanggalan jawa yang di dalamnya terdapat dua belas bulan dan diawali dengan bulan Sura sama halnya penanggalan Islam yang dimulai pada bulan Muharam.
Malam tersebut sebenarnya merupakan malam pergantian tahun hijriyah dalam kalender islam. Di lain sisi masyarakat jawa sendiri mulai mengenal penanggalan jawa pada masa kerajaan Mataram kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusuma. Pada saat itu, sebagai kerajaan islam tentu Mataram memiliki tugas cukup berat guna mempersatukan masyarakat Jawa.
Keberadaan penanggalan Islam memang telah dianggap sempurna oleh Sultan Agung, namun demikian kepercayaan di masyarakat jawa tidak seluruhnya menganut agama Islam. Dari sinilah kemudian tercipta penanggalan jawa yang di dalamnya terdapat dua belas bulan dan diawali dengan bulan Sura sama halnya penanggalan Islam yang dimulai pada bulan Muharam.
Dengan adanya penanggalan jawa ini Sultan Agung ingin adanya
persatuan rakyatnya tanpa membedakan agama dan keyakinan yang mereka anut.
Mitos yang telah melegenda di masyarakat jawa terhadap malam satu suro dan bulan suro memang abadi seolah tak dapat terhapuskan. Mistor tersebut antara lain ialah sbb:
Mitos yang telah melegenda di masyarakat jawa terhadap malam satu suro dan bulan suro memang abadi seolah tak dapat terhapuskan. Mistor tersebut antara lain ialah sbb:
Menganggap malam 1 suro merupakan malam angker dan
dihubungan dengan dimensi gaib.
Bulan suro menjadi bulan penuh kesialan
Melarang adanya hajatan pada bulan suro
Beberapa mitos tersebut secara tidak langsung telah
menciptakan adat yang mendarah daging di masyrakat jawa. Dalam rangka menyambut
jatuhnya malam tersebut sebagian masyarakat yang masih kental dengan ajaran
kejawen akan melakukan beberapa ritual seperti memandikan pusaka dan melakukan
tapa bisu. Selain itu sepanjang bulan suro hampir tidak ada orang yang
melaksanakan hajatan seperti pernikahan kecuali hajatan yang bersifat memaksa
seperti memberi nama bayi (dalam jawa disebut njenengke), maupun memperingati
kematian seseorang (40, 100, 1000, dsb).
Ritual Keraton Surakarta
Sebagai kerajaan pewaris dari Mataram kasunana Surakarta
sangat menjunjung tinggi adat istiadat serta kebudayaan para pendahulu.
Hal ini bisa kita lihat pula dari tradisi ritual
kejawen malam satu suro yang dilakukan oleh pihak kasultanan Surakarta
dalam setiap menyambut tahun baru Islam. Tradisi yang telah dikenalkan oleh
para pendahulu pemimpin Kerajaan Mataram Islam yakni adanya ritual jamasan
pusaka dan mubeng benteng.
Persiapan
Sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang yang
menganggap bahwa pusaka merupakan suatu benda berharga layaknya badan manusia.
Hal ini kemudian melahirkan ritual pemandian atau jamasan pusaka milik keraton
Surakarta.
Dalam pemandian pusaka tersebut paling tidak menggunakan
beberapa pelengkap seperti minyak wangi, kembang tujuh rupa, kelapa hijau, asam
jawa, jeruk nipis, bunga melati, dan lain sebagainya. Ritual ini biasa
dilakukan di Dalem Ageng Keraton Surakarta.
Tujuan dari ritual ini yakni sebagai usaha membersihkan pusaka dari kotoran, agar kharismanya tetap terjaga. Sebagian orang lagi mempercayai dengan memandikan pusaka maka khodam yang terdapat di dalamnya akan betah berada di wadahnya.
Pemandangan menarik juga akan kita temukan mana kala kita melihat prosesi pemandian pusaka keraton Surakarta pasalnya selain bentuk benda ternyata pusaka kesunanan Surakarta ada juga yang berwujud binatang yakni Kebo Bule yang akrab disebut Kyai Slamet. Konon kebo berwarna putih ini dulunya merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo pada Pakubuwono II.
Tujuan dari ritual ini yakni sebagai usaha membersihkan pusaka dari kotoran, agar kharismanya tetap terjaga. Sebagian orang lagi mempercayai dengan memandikan pusaka maka khodam yang terdapat di dalamnya akan betah berada di wadahnya.
Pemandangan menarik juga akan kita temukan mana kala kita melihat prosesi pemandian pusaka keraton Surakarta pasalnya selain bentuk benda ternyata pusaka kesunanan Surakarta ada juga yang berwujud binatang yakni Kebo Bule yang akrab disebut Kyai Slamet. Konon kebo berwarna putih ini dulunya merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo pada Pakubuwono II.
Mubeng Beteng
Setelah prosesi jamasan pusaka usai biasanya akan ada acara
semacam kenduri atau tahlilan dan dilanjutkan dengan mubeng beteng berjalan
mengelilingi kota Surakarta yang berjarak kurang lebih 7 KM. Dalam kirab
tersebut seluruh kebo bule mulai dari yang terbesar hingga yang terkecil milik
kasunanan akan memimpin barisan.
Dalam acara mubeng benteng tersebut seluruh abdi dalem
terlihat mengenakan pakaian khas dari Kasunanan Surakarta. Beberapa barisan
berperan sebagai prajurut dan sebagian lagi ada yang membawa pusaka. Sepanjang
perjalanan dalam rute tersebut akan terlihat sangat ramai oleh masyarakat yang
ingin menyaksikan ritual yang dilakukan oleh Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Ritual mubeng beteng memang tidak hanya dikenal oleh masyarakat Surakarta saja melainkan pemandangan serupa juga bisa kita temui di Keraton Yogyakarta.
Demikian liputan mengenai ritual kejawen malam satu suro kasusnanan Surakarta yang dapat kita sampaikan. Semoga tradisi tersebut tetap terjaga hingga menjadi kekayaan tak ternilai bagi Indonesi
Ritual mubeng beteng memang tidak hanya dikenal oleh masyarakat Surakarta saja melainkan pemandangan serupa juga bisa kita temui di Keraton Yogyakarta.
Demikian liputan mengenai ritual kejawen malam satu suro kasusnanan Surakarta yang dapat kita sampaikan. Semoga tradisi tersebut tetap terjaga hingga menjadi kekayaan tak ternilai bagi Indonesi
0 komentar:
Posting Komentar